JIHAD SUNYI
dawai perang mengguncangkan dukana hasrat petang
tergerai jawaban jihad sunyi yang menyulam cahaya kunang-kunang
Tapi, belum sempat kuceritakan rasa pahit ini pada hujan
belum pula pada bibirmu, sementara puisi hanya isyarat-isyarat semu.
kalau puisi itu namaku, diamlah sejenak di sisiku
kalau sepi itu namamu, jangan buat aku merindukanmu.
kalau tak ada gumpalan mendung, mendung hujan takkan meraung
kemaren, jelas tanyamu sudah nyata, mengapa air itu mengalir?
lalu kenapa harus ada gerimis yang harus mematikan beribu nafas orang kafir
miris mengiris dalam ingatan mistik sihir, di rahim syurga: aku juga bisa bertakbir.
mereka berperang menintai sepi, sedangkan aku masih sibuk mencari arti
mereka diam menyulam asa beserta do’a, sementara aku masih tenggelem di laut asmara.
sudahkah Jum’at kau jadikan isyarat jihad sunyi, tak perlu tubuhku kau tangisi
air-air membasahi bumi. simpati bumi seringkali kau racuni
panjang pedang kau buat perang berselendang remang-remang hina
masih maukah engkau, pada tangan-tangan yang terpaku menjilat jihad dekap sunyi
atau malah engkau tendang aku. diam seribu kata, kelam tanpa suara makna bahasa.
Sunyi dan nyeri, menjadi istri akan gebu keringat ini. mekarlah sepi dalam gejolak jingkat jihad sunyi.
Bungduwak, 2017-2018
KENANGAN 1/
sepintas melepas senja mekar menyala
memerahkan lehermu lewat pelukan dekap diam
orang-orang mencari kemana aku pergi.
suatu ketika menyapa angin menyuruh diam
sesekali kucium aroma tubuhmu sesaat langit
sedang bermain dekat awan bercumbu rayu.
engkau hanya diam, aku juga diam tersayat kelam.
sore itu masih menyisakan setetes sinar bermekaran
belum kubuka kerudungmu, sementara nyamuk menggigit lehermu
aku cemburu melihat nyamuk mencubit wangi aroma tubuhmu
tak bisa kubuang begitu saja, apa lagi yang berkaitan dengan rasa
terasa engkau adalah narwastu membuat mata lupa kedipnya.
hangat peluk yang kau dekap, ini syurga yang berubah air mata
sesaat engkau merasa terluka, tersakiti tajam sajak sihir jarak
belum lagi dengan kenangan yang sempat kujejakkan kaki ini
aku ingin sunyi ini menjadi kenyataan dan harapan.
tiada habis engkau menangis terkikis arah jalan yang berliku
sabarlah meniti lindap kenangan yang menjilat. Ini hanya sepi
aku belum pernah menemukan sendu lewat cucuran air matamu
baru kali ini aku sadari. sudahlah, jangan kau anggap ini sajak semu di laut biru.
Bungduwak, 2017
KENANGAN 2/
sempat hati kau tangisi, berselimut hujan menghitung ihwal derita hari
hingga lukamu kau tuduh aku yang membuat kenangan melelahkan
lalu siapa yang menintai sepi, bukankah kenangan ini kau namai duri.
wahai engkau atas nama bunga, mengalirkan air sungai yang menjadikan kata mutiara
;percayalah pada Tuhan yang lebih tahu arti luka dan kecewa.
kenangan ini sama sekali bukan maksudku menyakitimu
apa lagi hatimu kusisipkan rajam setajam karang, itu bukan aku !
pada api yang membakar kertas, pada bulan yang menyiram nafas
aku di sisimu menjadi arah. luka itu bukan kenangan yang kubuat,
hanya takdir Tuhan yang dirahasiakan; dulu, aku menjanjikan bulan.
serasa pagi begitu iri melihat sekawan camar membelah hujan
aku berteduh dengan rasamu, yang akan hadir membagikan hangat di dadamu,
“ini rencanaku,” katamu. tapi kenapa itu berubah duka dan nestapa. ingatkah itu semua?
haruskah kutanyakan kenapa pada siapa. kenapa dan kenapa ??
ataukah siapa yang bisa menjawab engkau bisa terluka ??
kutanyakan pada hujan, ia sibuk bersanding angin-angin sepoy
kutanyakan pada mendung, ia tidur membagi petang di sudut remang.
hanya saja aku kuat menahan gigil, meski gerimis aku malah tak peduli; ini hanya ilusi.
malam ini — menjadi kenangan diam di antara bait rasa yang tenggelam
sebutlah namaku jika perlu — perihal kenangan yang pernah tersirat dalam kalbu.
Bungduwak, 2017
Saiful Bahri, lahir di Sumenep. Penulis buku puisi: Senandung Asmara dalam Jiwa. Pemenang sayembara terbit buku, di penerbit Tidar Media. Tulisannya pernah tersiar di media lokal maupun nasional. Saat ini, ia masih aktif di kajian sastra dan teater “Kosong” Bungduwak.
Comment