Perihal Mimpi
Mimpi pertama yang muncul pada usia menjelang remaja; beberapa buah manggis berjatuhan dari pohonnya dikutuk angin pagi. Lalu satu-persatu mimpiku bermunculan bagai telur-telur biawak yang sering kutemukan di areal persawahan. Mimpi-mimpi itu melesat begitu saja, kadang saat aku tertidur lelap di malam
yang dingin, bahkan saat hawa panas siang hari. Aku makin lupa berapa banyak mimpi yang menetas dari kepalaku, selain mimpi pertama yang memang mengekal dalam ingatan ketika aku menjadi lelaki dewasa.
Semakin lama aku menjauh dari masa kecil, semakin kekal keinginan memiliki mimpi yang sama. Di mana keinginan ini mustahil bagi orang lain, justru aku menyukainya. Kelak, aku ingin mimpi tentang buah manggis itu muncul dalam tidur anakku dan ia sempat memakannya sebelum terjaga. Sebab ia bukan buah khuldi yang dikutuk Tuhan bagi siapa yang memakannya. Mimpi seorang ayah juga mimpi bagi anak-anaknya.
Pondok Kates, 2016
Kepada Engkau yang Menemani Sajakku
Di penghujung malam mesti kau renungkan seberapa kelam pikiranku jauh dari ambang pintu. Bau tubuhku serupa debu, disayat dingin yang senantiasa tahu aku jauh darimu. Betapa nostalgia perih menyayat ingatan tentang apa yang kau bisikkan pada angin agar aku pulang meski gerimis mencincang tubuh dalam perjalanan.
Aku yang tak pandai merayu, mesti tahu agar kau tetap tersenyum menyelip sebuah sajak dingin dalam telapak tanganmu saat kita berpapasan di pintu pagar. lalu kau bawa sampai ke dapur, menaruh dalam cangkir kopi, kau letakkan di atas meja, seraya menemaniku mengumpul pintalan sajak yang berserak dalam kepala sejak perjalanan pulang.
Aku tahu kau telah bersabar menjadi tiang, begitu kuat mengikat diri menjaga pikiranku tak terganggu, menyusun kata demi kata yang sesekali tiada bermakna, menjelma humus tak berladang; tapi kemanakah kutempatkan selain ke sisimu.
Begitulah hari-hari yang kita lalui antara rumah dan kota, antara malam dan perjalanan. sampai segalanya menyisakan sebiji sawi harapan buat engkau dan anak-anak menjadi panorama indah dalam rumahtangga, sejak perkawinan dua belas tahun ditempa waktu.
Pondok Kates, 2016
Percakapan Terakhir
Pada malam itu, kita bersua tentang masa lalu yang mengganggu urat saraf. Kadang berkabut, membeku dan mencair dalam cangkir kopi dan kepulan asap rokok. Istirahat sejenak, lalu mengumbar reranting kering yang menancap dalam kepalamu, siap patah memuntahkan kejenuhan dan rasa sakit yang makin lama makin ngilu.
Dan apa yang kau tuju sudah tuntas sebelum bayi-bayimu dilahirkan angin pagi dan mati dalam rahim malam. Tak perlu lagi banyak bicara, malam sudah usai menuntaskan benang-benang biru dalam kepala. Tak usah lagi mengejar laba-laba yang telah kembali ke sarang. Biarlah kita terkubur dalam impian yang menawarkan racun dengan susu, atau mengalirkan diri ke muara dan bertemu asin laut yang tak pernah tawar.
Pondok Kates, 2016
Kepada Engkau
Aku tahu, airmatamu tumpah dalam gelimang ragu
menunggu kabarku pulang menujumu menjelang senja
namun hari itu adalah penantian panjang
burung-burung telah kembali ke sarang,
aku belum muncul di ambang pintu.
Anak-anak menangis, nasi belum ditanak
lembaran-lembaran kertas puisku gundah di meja tua
menata diri bimbang, si penyair belum pulang
kepada istri dan anak-anaknya.
Jarum jam kehilangan arah
aku masih mengarungi gelombang manusia
mengantri kemacetan di jalanan rusak,
air hujan tergenang bak danau risau
menciut diri jadi lumpur dalam kubangan debu.
Aku tahu, engkau makin gelisah
sesekali pasrah dan berang,
hujan mulai mengguyur perkampungan
aku belum muncul di ambang pintu.
Tanah Luas, 2016
Sejak Semula
Sejak semula semua menerka batu-batu diperam asin laut. Seperti rentetan waktu yang mengeja bisu hingga batu-batu mendulang mimpi di sungai. Namun tak disangka batu-batu dimamah hantu rimba yang cukup tamak menanak hasrat ingin menggumul sungai menjadi payau. Hingga anak-anak kami tak berani berada di tepi sungai. Mereka takut, kelak sungai membawanya ke alam arwah. Tubuh-tubuh mereka diseret arus ke muara.
Sejak semula, aku takut cintaku lekang dari sungai ibu yang menyusuiku dengan air sungai nan jernih. Ikan-ikan landok tinggal seonggok dongeng yang dihikayatkan dari musim panen ke musim tanam.
Maka aku percaya, batu-batu di sungai kami digerus zaman meninggalkan kerikil yang terbawa arus ke muara. Bahkan sejak semula, aku percaya kata indatu kami tak lagi memiliki sungai.
Pondok Kates, 2016
Mahdi Idris lahir di Desa Keureutoe, Lapang, Aceh Utara, 03 Mei 1979. Karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai dimuat berbagai media lokal dan nasional. Buku puisinya yang telah terbit Lagu di Persimpangan Jalan (2014), Kidung Setangkai Sunyi (2016) dan Kutukan Rencong (2018). Naskah puisinya Nyanyian Rimba memenangkan Juara II pada Sayembara Naskah Pengayaan Puskurbuk Kemendikbud 2011. Saat ini bermukim di Pondok Kates, Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara.
Comment