Sang Pendosa
Angan berlari di antara kawanan awan. Bersulang dingin gunung menatap lembah-lembah pasrah, menampung doa para penunggang musim kehilangan gairah ketika curah membasah langkah.
Di anjung itu seolah diri adalah Nuh paling gagah: penyelamat dari kiamat pemusnah noktah-noktah
Ingin berdiri pada mimbar-mimbar penuh pendengar suara lantang berkobar membakar hati para fakir yang ingkar. Seketika ingatan dipenuhi ayat-ayat Tuhan, selayaknya mendung menyimpan jutaan hujan yang siap dijatuhkan pada gersang bebatuan
Gerimis perlahan jatuh membelah pipi renta: merupa sungai air mata. Mengalir dari hulu kesedihan paling nadir, memuara pada bibir yang dulu begitu nyinyir mengeja kata, hidup harus melawan arus takdir!
Kini senja begitu suram di mata buram yang takut kedatangan malam. Sepuh jemari meraba beranda kelam berdebu sepanjang jalan pulang menapaki hitam, menanti pejam tanpa suluh pualam.
Pasaman Barat, 2018
Zikir Sungai dan Dermaga yang Tabah
Hujan musim lalu bercerita
tentang sepasang insan
terjebak manis khuldi masa silam:
satu gigitan tersekat di tenggorokan,
dan dua lainnya menjelma mata air penuh debar
yang setia menjahit kerinduan
Subuh itu terasa asing ketika
rahim malam mencatat sebuah kelahiran
mata air. Sepanjang alir aku sungai yang berzikir
mengitari bebatuan, selami lubuk musim
kemarau. Dan kadang terdampar bersama keruh
peradaban musim hujan.
Muara di ujung sana ialah engkau,
dermaga penampung doa paling tabah.
Di tubuh waktu, kita sepasang yang pernah
diceritakan dalam risalah Adam.
Pasaman Barat, 2018
Perempuanku
Bila langkah mengajakmu jelajahi
seluk-beluk cinta, ikutlah dengannya
di sana akan banyak canda tawa, juga
luka sebagai tanda bahwa tiada yang
yang tunggal selain Dia.
Bila cinta yang tersuguh tak buat
bahagia sebagaimana inginmu, dan air mata
jadi sahabat karib di petualangan itu. Maka
susuri sungai menuju muara, seperti
janji Adam dan Hawa.
Hati dan cinta yang kupunya masih
setia di alamat yang lama
Pulanglah, pada dada yang siap menampung duka.
Beranda sunyi, 2018
Sahabat
Tinta yang kita asuh di bilik-bilik
sunyi, menetas dalam lembaran putih
menjadi bait-bait pitunang.
Angin mengantarkan perahu ini berlabuh
pada rindu dermaga yang utuh, jawabmu.
Kita tersenyum melipat hari-hari dengan canda
hingga lupa hakikat perjumpaan. Memang
aku petang yang merindu pertemuan
dengan senja, tapi mengutuk kedatangan
malam yang gulita. Sebab pada kelamnya
aku lupa cara meminta purnama.
BIM–Padang Panjang, 05 Mei 2018
Setangkai Kenang di Padang Panjang
(Sehelai daun tak sempat pamit
pada ranting ketika angin tiba-
tiba mmbawanya jauh)
Pagi itu, selembar payung terselip
di antara teduh mata perempuan
mata indah yang menyambut kedatangan.
Lalu payung itu menjelma kata-kata
dari bibirnya yang ranum.
“Pakailah jika nanti gerimis mulai jatuh, ucapnya.”
Aku melangkah tanpa sempat bertanya
di mana pemantik payung itu bila kelak hujan
mengunjungi perjalanan yang panjang
Setiba di rumah aku basah kuyup
dibasuh rindu yang jatuh sepanjang jalan,
buru-buru kuhangatkan diri di tungku perapian
berharap gigil pergi dari tubuh. Tapi kenang
tersangkut di landai kening.
Senja yang pasi mengantarkan malam
di desaku lampu-lampu sudah lama
tertidur bersama dengkur penunggang waktu.
Di kota hujan itu seorang perempuan
tabah merawat pemantik payung yang tertinggal
dalam lembaran putih bernama kenangan.
Pasaman Barat, 9 Mei 2018
Joel Pasbar, lahir di Talamau, Pasaman Barat (Pasbar) Sumatra Barat, 03 Desember 1985. Dimulai karena hobi menulis di lembar-lembar diary semenjak masa sekolah, membuat sastra menjadi sebuah candu dalam dirinya. Lelaki penyuka hujan, kopi, dan sunyi ini tergabung dalam beberapa komunitas kepenulisan, seperti: Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Sastra Bumi Mandeh (SBM) Comunity Pena Terbang (KOMPETER) Indonesia, dan lain-lain. Juga aktif di Forum Pegiat Literasi (FPL) Pasaman dan Pasaman Barat.
Tulisannya pernah dimuat di beberapa media cetak ataupun online. Seperti HALUAN, KABAR MADURA, NEOKULTUR, KABAR PESISIR, dll. Dan dalam buku antologi bersama para sahabat. Juga sering diundang dalam acara-acara literasi. Pada 2017 awal, ia menerbitkan buku antologi solo, kumpulan puisi SAJAK-SAJAK SUNYI (Filosofi Secangkir Kopi) Madza Publishing, Badung, Bali. ***
Comment